Posisi Tawar Petani Garam Indonesia Rendah
Petani garam di Indonesia mayoritas merupakan para petani garam kecil yang posisi tawarnya sangat rendah di hadapan para pengepul. Inilah yang terjadi bertahun-tahun di Indonesia. Apalagi, mereka belum memiliki akses teknologi yang memadai untuk memproduksi garam menjadi lebih baik.
Hal tersebut dikemukan Anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudohusodo (F-PG), Senin (24/3). “Petani garam kita itu mayoritasnya terdiri atas petani garam kecil-kecil yang posisi tawarnya lemah sekali di hadapan para pengepul. Mereka juga memiliki modal yang sangat terbatas sehingga ijon garam sebelum panen itu sering terjadi dengan harga yang murah,” keluh Siswono.
Akses teknologi yang minim, membuat kualitas produksi garam para petani tidak memenuhi standar. Tidak saja kandungan NaCl-nya yang rendah, tapi juga produksi garamnya relatif kotor bercampur tanah. Dari data yang ada, produktiftas garam nasional hanya sekitar 60-70 juta ton per tahun per hektar. 80% dari produk tersebut masuk kualitas 2 dan 3. “Itu yang membuat harga garam menjadi lebih murah. Hanya 20% yang masuk kelas 1. Ini terjadi karena teknologinya yang sangat terbelakang,” jelas Siswono.
Kualitas garam itu ditentukan tingkat kebersihan. Ini, kata Siswono, terkait dengan teknik pemanenannya. Kualitas garam juga ditentukan kadar NaCl. Semakin tinggi kadarnya, semakin tinggi kelasnya. Di Indonesia belum mampu memenuhi dua kriteria itu sebagai garam kelas satu. “Pada umumnya garam di Indonesia yang dihasilkan para petani garam masuk kategori garam konsumsi.”
Untuk produk garam konsumsi sebenarnya Indonesia sudah bisa swasembada. Produksi garam konsumsi satu setengah juta ton/tahun. Sementara kebutuhan garam industri kurang lebih satu setengah juta ton juga. Inilah yang belum mampu dipenuhi, sehingga selalu diimpor. Jadi dari 3 juta ton kebutuhan garam nasional, Indonesia baru bisa memenuhi 50%-nya saja. (mh)/foto:iwan armanias/parle.